Sabtu, 09 Juni 2012

Obat Bagi Tiga “Pusing” Mahasiswa

Oleh : Bang Dion
Dimuat di Suara Mahasiswa OKEZONE.COM Rabu, 06 Juli 2011

Bulan-bulan di akhir tahun ajaran hingga awal tahun ajaran baru selalu diwarnai dengan kehadiran siswa-siswi SLTA yang akan mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Tak peduli dari jantung kota hingga pelosok desa, bagi siswa kelas XII dan alumninya –yang memiliki kemampuan– berbondong untuk berebut kursi perguruan tinggi. SNMPTN, sebagai ajang nasional penerimaan mahasiswa baru pun membeludak peminatnya. Walaupun sebenarnya banyak pula PTS berkualitas yang jarang dilirik calon mahasiswa. Siapa yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, prestasi yang besar, hingga kantong yang tebal, diperebutkan berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mereka didik dan kembangkan sesuai dengan karakter perguruan tinggi itu.
Namun dimanapun kuliahnya, entah PTN ataupun PTS, seluruh calon mahasiswa, mahasiswa dan pasca mahasiswa, seluruhnya penulis pastikan mengalami tiga macam pusing
berikut ini. Namun sebagai generasi terpelajar yang bijak, sudah sepantasnya menyikapi dengan bijak pula.
Inilah pusing yang pertama. Susah-susah mudah memang untuk menjadi mahasiswa. Harus menyiapkan berbagai hal untuk memenuhi persyaratannya. Bersaing dengan ribuan pelajar. Belum lagi ditambah pesaing dari kalangan penyuap dan nepotisme pegawai perguruan tinggi bagi beberapa perguruan tinggi yang memang menjadi idaman, apalagi perguruan tinggi yang memiliki jaminan kerja setelah lulus. Namanya juga Indonesia, sudah tidak kaget kalau mendengar asas ‘siapa tebal amplopnya, dia dapat’ dan prinsip ‘utamakan keluarga’.
Namun hal tersebut bisa diatasi dengan bijak. Mari berfikir bahwa kesuksesan bukan hanya berasal dari lulusan perguruan tinggi negeri, ternama dan favorit. Bahkan banyak lulusan perguruan tinggi swasta yang dianggap tidak populer namun sukses pula di bidangnya. Sebagian besar pelajar memilih perguruan tinggi favorit hanya bermodus gengsi saja. Bahkan tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, yang penting bisa masuk di perguruan tinggi ternama tersebut. Apa salahnya jika kita memilih perguruan tinggi yang dirasa kurang favorit, kemudian kita mengukir prestasi di sana, lalu perguruan tinggi itu menjadi favorit karena prestasi kita. Bukankah itu lebih baik?
Anehnya, ketika para siswa itu sudah berubah status menjadi mahasiswa, di perguruan tinggi ternama yang mereka idam-idamkan, mereka tidak memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Rute ‘kampus-kos’ menjadi keseharian mereka tanpa ada kreativitas lainnya. Organisasi kemahasiswaan, baik intra maupun ekstra kampus tidak satupun dipelajari dan diikutinya. Prestasi akademiknya pun hanya biasa-biasa saja.
Pusing yang kedua pun ia rasakan saat menduduki nyawa semester yang hampir padam. Skripsi atau Tugas Akhir. Hanya itu yang ada di pikirannya. Kuliahnya selama 3, 4, atau bahkan hingga 7 tahun, seakan hanya penelitian kecil itu yang bisa menjadi kunci untuk menyandang gelar sarjana atau ahli madya. Meskipun saat ini –menurut salah satu dosen metodologi penelitian di tempat penulis kuliah–jarang ditemukan penelitian mahasiswa yang sesuai dengan standar penelitian, sebagian besar hanya berprinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) dari penelitian yang sudah ada. Tidak salah memang, namun apabila mengambil tema penelitian yang sesuai dengan minat kita, apalagi memiliki manfaat praktis yang dapat kita rasakan pasca penelitian, tentu akan sangat membantu dalam proses penelitian. Hasilnya pun tentu akan lebih mantab, karena dikerjakan dengan tidak ada keterpaksaan.
Ketika proses penelitian berakhir, tiba saatnya mahasiswa menemukan titik keceriaan, status sosialnya pun berubah. Sarjana atau Ahli Madya, mereka sandang sesaat setelah diwisuda. Namun di tengah kegembiraan para wisudawan-wisudawati, dimungkinkan juga menjadi tangis bangsa Indonesia. Karena saat itu juga, angka pengangguran melonjak drastis. Di balik kegembiraannya, terdapat kesedihan tersendiri bagi sebagian wisudawan-wisudawati maupun masyarakat secara umum.
Inilah pusing ketiga kalinya yang menempel di kepala (mantan) mahasiswa. Mereka dituntut oleh keluarga dan masyarakat untuk segera bekerja di perusahaan elite, merantau ke luar negeri, atau tidak sedikit pula yang berprinsip ‘pokoknya’ PNS apapun caranya. Sudah IP nya pas-pasan, lowongan kerja sedikit, pelamar membeludak, belum lagi tidak memiliki keahlian dan prestasi khusus yang bisa diunggulkan. Dan tidak sedikit pula lulusan perguruan tinggi yang seperti ini.
Hat itu merupakan salah satu efek dari ketidakaktifan mahasiswa ketika masih berada di bangku kuliah. Baik aktif mengembangkan potensi, berorganisasi maupun belajar dan bercita-cita untuk menciptakan lapangan kerja, bukan mencari kerja. Maka tidak salah, bahkan menjadi nilai tambah, jika mahasiswa kuliah sambil bekerja atau sambil membuka usaha. Karena akan mengurangi kesedihan Indonesia dengan berkurangnya angka pengangguran, minimal untuk dirinya sendiri, apalagi bisa mengajak orang lain untuk bekerja di sana.
Menjadi sedikit pencerahan, akhir-akhir ini banyak bermunculan wirausahawan dari kalangan mahasiswa. Komunitas-komunitas enterpreneur juga banyak berdiri di berbagai perguruan tinggi. Memanfaatkan bakat dan hobi menjadi salah satu alternatif yang mereka paai. Hobi dapat diorganisir untuk dikembangkan menjadi sebuah usaha, yang harapannya dapat menghasilkan dan meningkatkan taraf ekonomi.
Kepada para pelajar, pilihlah perguruan tinggi yang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuanmu. Untuk para mahasiswa, mari manfaatkan masa-masa mahasiswa untuk tumbuh bersama kampus, baik akademik maupun non akademik. Dan untuk para mantan mahasiswa, ayo berfikir di luar kotak, kreatif, mencoba memanfaatkan kemampuan kita untuk menciptakan lapangan kerja, minimal bagi diri kita.
*) Penulis adalah Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bicaralah, Tulislah, Isi Hati Anda Ketika Melihat Situs Ini