Oleh : Bang Dion
Dimuat di Suara Mahasiswa OKEZONE.COM Rabu, 06 Juli 2011
Bulan-bulan di akhir tahun ajaran hingga awal tahun ajaran baru
selalu diwarnai dengan kehadiran siswa-siswi SLTA yang akan mendaftarkan
diri ke perguruan tinggi. Tak peduli dari jantung kota hingga pelosok
desa, bagi siswa kelas XII dan alumninya –yang memiliki kemampuan–
berbondong untuk berebut kursi perguruan tinggi. SNMPTN, sebagai ajang
nasional penerimaan mahasiswa baru pun membeludak peminatnya. Walaupun
sebenarnya banyak pula PTS berkualitas yang jarang dilirik calon
mahasiswa. Siapa yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, prestasi
yang besar, hingga kantong yang tebal, diperebutkan berbagai perguruan
tinggi negeri dan swasta untuk mereka didik dan kembangkan sesuai dengan
karakter perguruan tinggi itu.
Namun dimanapun kuliahnya, entah PTN ataupun PTS, seluruh calon
mahasiswa, mahasiswa dan pasca mahasiswa, seluruhnya penulis pastikan
mengalami tiga macam pusing
berikut ini. Namun sebagai generasi
terpelajar yang bijak, sudah sepantasnya menyikapi dengan bijak pula.
Inilah pusing yang pertama. Susah-susah mudah memang
untuk menjadi mahasiswa. Harus menyiapkan berbagai hal untuk memenuhi
persyaratannya. Bersaing dengan ribuan pelajar. Belum lagi ditambah
pesaing dari kalangan penyuap dan nepotisme pegawai perguruan tinggi
bagi beberapa perguruan tinggi yang memang menjadi idaman, apalagi
perguruan tinggi yang memiliki jaminan kerja setelah lulus. Namanya juga
Indonesia, sudah tidak kaget kalau mendengar asas ‘siapa tebal
amplopnya, dia dapat’ dan prinsip ‘utamakan keluarga’.
Namun hal tersebut bisa diatasi dengan bijak. Mari berfikir bahwa
kesuksesan bukan hanya berasal dari lulusan perguruan tinggi negeri,
ternama dan favorit. Bahkan banyak lulusan perguruan tinggi swasta yang
dianggap tidak populer namun sukses pula di bidangnya. Sebagian besar
pelajar memilih perguruan tinggi favorit hanya bermodus gengsi saja.
Bahkan tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, yang penting bisa masuk
di perguruan tinggi ternama tersebut. Apa salahnya jika kita memilih
perguruan tinggi yang dirasa kurang favorit, kemudian kita mengukir
prestasi di sana, lalu perguruan tinggi itu menjadi favorit karena
prestasi kita. Bukankah itu lebih baik?
Anehnya, ketika para siswa itu sudah berubah status menjadi
mahasiswa, di perguruan tinggi ternama yang mereka idam-idamkan, mereka
tidak memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Rute ‘kampus-kos’ menjadi
keseharian mereka tanpa ada kreativitas lainnya. Organisasi
kemahasiswaan, baik intra maupun ekstra kampus tidak satupun dipelajari
dan diikutinya. Prestasi akademiknya pun hanya biasa-biasa saja.
Pusing yang kedua pun ia rasakan saat menduduki
nyawa semester yang hampir padam. Skripsi atau Tugas Akhir. Hanya itu
yang ada di pikirannya. Kuliahnya selama 3, 4, atau bahkan hingga 7
tahun, seakan hanya penelitian kecil itu yang bisa menjadi kunci untuk
menyandang gelar sarjana atau ahli madya. Meskipun saat ini –menurut
salah satu dosen metodologi penelitian di tempat penulis kuliah–jarang
ditemukan penelitian mahasiswa yang sesuai dengan standar penelitian,
sebagian besar hanya berprinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) dari
penelitian yang sudah ada. Tidak salah memang, namun apabila mengambil
tema penelitian yang sesuai dengan minat kita, apalagi memiliki manfaat
praktis yang dapat kita rasakan pasca penelitian, tentu akan sangat
membantu dalam proses penelitian. Hasilnya pun tentu akan lebih mantab,
karena dikerjakan dengan tidak ada keterpaksaan.
Ketika proses penelitian berakhir, tiba saatnya mahasiswa menemukan
titik keceriaan, status sosialnya pun berubah. Sarjana atau Ahli Madya,
mereka sandang sesaat setelah diwisuda. Namun di tengah kegembiraan para
wisudawan-wisudawati, dimungkinkan juga menjadi tangis bangsa
Indonesia. Karena saat itu juga, angka pengangguran melonjak drastis. Di
balik kegembiraannya, terdapat kesedihan tersendiri bagi sebagian
wisudawan-wisudawati maupun masyarakat secara umum.
Inilah pusing ketiga kalinya yang menempel di kepala
(mantan) mahasiswa. Mereka dituntut oleh keluarga dan masyarakat untuk
segera bekerja di perusahaan elite, merantau ke luar negeri, atau tidak
sedikit pula yang berprinsip ‘pokoknya’ PNS apapun caranya. Sudah IP nya
pas-pasan, lowongan kerja sedikit, pelamar membeludak, belum lagi tidak
memiliki keahlian dan prestasi khusus yang bisa diunggulkan. Dan tidak
sedikit pula lulusan perguruan tinggi yang seperti ini.
Hat itu merupakan salah satu efek dari ketidakaktifan mahasiswa
ketika masih berada di bangku kuliah. Baik aktif mengembangkan potensi,
berorganisasi maupun belajar dan bercita-cita untuk menciptakan lapangan
kerja, bukan mencari kerja. Maka tidak salah, bahkan menjadi nilai
tambah, jika mahasiswa kuliah sambil bekerja atau sambil membuka usaha.
Karena akan mengurangi kesedihan Indonesia dengan berkurangnya angka
pengangguran, minimal untuk dirinya sendiri, apalagi bisa mengajak orang
lain untuk bekerja di sana.
Menjadi sedikit pencerahan, akhir-akhir ini banyak bermunculan
wirausahawan dari kalangan mahasiswa. Komunitas-komunitas enterpreneur
juga banyak berdiri di berbagai perguruan tinggi. Memanfaatkan bakat dan
hobi menjadi salah satu alternatif yang mereka paai. Hobi dapat
diorganisir untuk dikembangkan menjadi sebuah usaha, yang harapannya
dapat menghasilkan dan meningkatkan taraf ekonomi.
Kepada para pelajar, pilihlah perguruan tinggi yang sesuai dengan
bakat, minat dan kemampuanmu. Untuk para mahasiswa, mari manfaatkan
masa-masa mahasiswa untuk tumbuh bersama kampus, baik akademik maupun
non akademik. Dan untuk para mantan mahasiswa, ayo berfikir di luar
kotak, kreatif, mencoba memanfaatkan kemampuan kita untuk menciptakan
lapangan kerja, minimal bagi diri kita.
*) Penulis adalah Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bicaralah, Tulislah, Isi Hati Anda Ketika Melihat Situs Ini